Sajak Rindu..

Rabu, 26 Oktober 2011


Ku ingin seperti angin...
Kan ku buat sajak terindah untukmu...
Yang akan membelaimu ketika rindu merengkuh...
Dan sang malam menanggalkan pekatnya...

Dengarlah...
Sajak rindu yang ku teriakkan kepadamu...
Yang tertafsir oleh alam...
Yang tersimpan di kotak hitam...
Meski tangan tergores luka mengukirnya...

Lihatlah senja sore hari...
Rasakan hadirnya...
Ingin ku abadikan karya-Nya...
Sebelum malam menjelang...
Sebelum langit menjadi hitam kelam...
Di senja sore hari ini kan ku tata lisan menjadi tulisan...
Agar engkau disana selalu damai dengan hati yang tenang...

Sebenarnya banyak kata yang ingin ku ucapkan...
Namun mulut ini membisu...
Menjajah lidah dan pita suara...
Lantas tercurah lewat selentik jari...


Untukmu yang selalu merinduku.. ^^
Read More - Sajak Rindu..

Orang yang Mencintaimu..




2. Dia selalu menerima kamu apa adanya, dimatanya kamu selalu yang tercantik/tertampan dan yang terbaik untuknya.



3. Dia selalu ingin tau tentang apa saja yang kamu lalui sepanjang hari ini, ia ingin tau kegiatan kamu.



4. Dia akan mengirimkan sms seperti “selamat pagi”, "selamat hari minggu,“selamat tidur”, walaupun kamu tidak membalas pesannya.



5. Saat kamu berulang tahun, setidaknya ia akan telpon untuk mengucapkan selamat atau mengirim sms.



6. Dia akan selalu mengingat setiap kejadian yang ia lalui bersamamu, bahkan mungkin kejadian yang kamu sendiri sudah lupa setiap detailnya, karena saat itu adalah sesuatu yang berharga untuknya.



7. Dia selalu mengingat setiap kata yang kamu ucapkan bahkan mungkin kata-kata yang kamu sendiri lupa pernah mengatakannya.



8. Dia akan belajar menyukai lagu-lagu kesukaanmu, bahkan mungkin meminjam CD/kaset kamu,karena ia ingin tau kesukaanmu, kesukaanmu kesukaannya juga.



9. Jika kamu sedang sakit, ia akan mengirim sms atau menelponmu dan menanyakan keadaanmu.. karena ia mengkhawatirkanmu.





10. Kalau kamu bilang sedang tidak semangat bekerja / ada masalah dengan pekerjaanmu, ia akan mengirimkan sms atau menelponmu untuk memberikan semangat padamu.



11. Dia akan memberimu suatu barang miliknya yang mungkin buat kamu itu ialah sesuatu yang biasa, tapi itu ialah suatu barang yang istimewa buat dia.



12. Terkadang dia akan terdiam sesaat,saat sedang berbicara ditelpon denganmu, sehingga kamu menjadi bingung. saat itu mungkin saja dia sedang merasa sangat gugup karena kamu telah mengguncang dunianya.



13. Dia selalu ingin berada didekatmu dan ingin menghabiskan hari-harinya denganmu.



14. Jika suatu saat kamu harus pindah ke kota lain untuk waktu yang lain ia akan memberikan nasehat supaya kamu waspada dengan lingkungan yang bisa membawa pengaruh buruk bagimu.



15. Dia bertindak lebih seperti saudara daripada seperti seorang kekasih.



16. Dia mungkin saja akan melakukan hal-hal yang konyol seperti menelponmu 100x dalam sehari, atau membangunkanmu ditengah malam karena ia mengirim sms atau menelponmu. karena saat itu ia sedang memikirkanmu.



17. Jika dia sedang merindukanmu dan melakukan hal-hal yang membuat kamu jengkel atau gila, saat kamu bilang tindakannya membuatmu terganggu ia akan minta maaf dan tak kan melakukannya lagi.



18. Jika kamu memintanya untuk mengajarimu sesuatu maka ia akan mengajarimu dengan senang hati dan sabar.



19. Kalau kamu melihat handphone-nya maka namamu akan menghiasi sebagian besar “INBOX”nya. Yupz ia masih menyimpan pesan dari kamu walaupun pesan itu sudah kamu kirim sejak berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun yang lalu.



20. Dan jika kamu menghindarinya atau memberi reaksi penolakan, ia akan menyadarinya dan menghilang dari kehidupanmu walaupun hal itu membunuh hatinya. Karena yang ia inginkan hanyalah kebahagiaanmu..
^__~
Read More - Orang yang Mencintaimu..

Berdialog dengan Cinta..

Suatu waktu, aku bertemu dengan sesuatu yang sangat indah. Takjub. Begitulah suasana untuk menggambarkan diriku disaat itu.


Akupun bertanya, “Siapa dirimu..?”


“Aku adalah Cinta..”
Jawabnya dengan lembut dan mendayu. Lebih lembut dari melodi musik nan indah..


“Lalu apa yang kamu lakukan disini ?” Selidikku.


“Aku akan menjerat dirimu, dengan perangkapku. Engkau tidak akan bisa melepaskannya walaupun dengan sekuat kemampuan yang engkau punya. Bahkan Semakin engkau mencoba untuk memberontak, akan semakin erat perangkapku menjeratmu”


“Lalu setelah itu, apa yang akan kamu lakukan ?”


“Aku akan mengurungmu dalam penjara kegelisahan. Di dalamnya engkau akan merasa ketakutan. Dan engkaupun tidak akan bisa keluar darinya. Walupun engkau berteriak dengan jeritan menyayat, tidak akan ada orang yang mendengarkanmu. Kalaupun ada, mereka tidak akan peduli padamu”


“Lalu ?”


“Akan ku cambuk tubuhmu dengan cambuk Penderitaan. Sehingga engkau akan merasakan sakit yang membuat tubuhmu tidak nyaman. Pasrah. Engkau hanya akan bisa merintih memelas, memohon belas kasihan. Ketika engkau ingin mengobatinya, maka tidak ada seorang tabibpun yang mampu membuat obat untuk luka-lukamu”


“Setelah itu?”


“Akan kusirami tubuhmu dengan air Kesengsaraan. Sehingga akan membuat perih sekujur tubuhmu, membuat ngilu tulang-tulangmu. Membuat desiran darahmu terasa berhenti. Sangat pedih. Engkau hanya akan bisa pasrah menerima perlakuan semua itu”


“Apa lagi yang akan kamu perbuat setelah itu ?”


“Setelah itu, aku akan menusuk kepalamu dengan jarum Kerinduan. Kemudian, akan ku peras ia dengan kegelisahan. Sehingga membuatnya menjadi tak beraturan. Menghilangkan kesadaranmu. Berfikir tak rasioanal, menghadirkan perasaan yang mengerikan, menjadikanmu tak nyaman disetiap tidurmu.”


“Aku bisa melakukan segalanya terhadapmu. Membutakan mata, menulikan telinga, menjadikanmu lumpuh, bahkan membuatmu tidak bisa bernapas sekalipun. Tapi cukuplah itu sebagai sedikit gambaran tentang apa yang akan aku perbuat terhadapmu”


“Lalu bagaimana caraku untuk menghindar dari ancamanmu itu ? Tidak adakah jalan untuk berdamai ?”



Pembicaraan hening sejenak.


“Ada. Tapi jangan sekali-kali engkau khianati !”


“Benarkah. Apa itu?”


“Taruhlah aku di dalam wadah hatimu..
Kelola aku dengan manajemen kelembutan..
Pelihara aku dengan kesabaran..
Rawat diriku dengan keikhlasan..
Sirami aku dengan air mata ketulusan..
Jaga diriku dengan kesabaran dan ketaatan..
Sehingga Engkau akan merasakan kedamaian. Akupun akan merasa sempurna. Karena pada hakikatnya, kesempurnaanku terletak pada penghambaan diri, kepatuhan, dan ketaatan kepada yang dicintai, yaitu nilai kebenaran.”


“Akan aku lakukan. Tapi siapa sesungguhnya dirimu dan dari mana asalmu ?”


“Sesungguhnya aku ini di ciptakan oleh Sang Pencipta, Allah Ar-Rahman untuk berada dalam diri manusia. Celakalah bagi yang tidak menempatkanku pada rumahku. Dan beruntunglah bagi yang memanfaatkanku dalam jalan kebenaran”


Cinta menutup kata-katanya,


“Ingat, jangan pernah meremehkanku dan memperlakukanku dengan dengan tidak baik. Rawat aku. Dan sekali lagi, jangan mengkhianatiku!”
Read More - Berdialog dengan Cinta..

Sifat Malu Kaum Wanita..



Malu adalah akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak terpuji yang ada pada diri seorang lelaki dan fitrah yang mengkarakter pada diri setiap wanita. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika ada wanita yang tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya. Rasa manis seorang wanita salah satunya adalah buah dari adanya sifat malu dalam dirinya.


Apa sih sifat malu itu?


Imam Nawani dalam Riyadhush Shalihin menulis bahwa para ulama pernah berkata, “Hakikat dari malu adalah akhlak yang muncul dalam diri untuk meninggalkan keburukan, mencegah diri dari kelalaian dan penyimpangan terhadap hak orang lain.”


Abu Qasim Al-Junaid mendefinisikan dengan kalimat, “Sifat malu adalah melihat nikmat dan karunia sekaligus melihat kekurangan diri, yang akhirnya muncul dari keduanya suasana jiwa yang disebut dengan malu kepada Sang Pemberi Rezeki.”


Ada tiga jenis sifat malu, yaitu:


1. Malu yang bersifat fitrah. Misalnya, malu yang dialami saat melihat gambar seronok, atau wajah yang memerah karena malu mendengar ucapan jorok.


2. Malu yang bersumber dari iman. Misalnya, seorang muslim menghindari berbuat maksiat karena malu atas muraqabatullah (pantauan Allah).


3. Malu yang muncul dari dalam jiwa. Misalnya, perasaan yang menganggap malu seperti telanjang di hadapan orang banyak.


Karena itu, beruntunglah orang yang punya rasa malu. Kata Ali bin Abi Thalib, “Orang yang menjadikan sifat malu sebagai pakaiannya, niscaya orang-orang tidak akan melihat aib dan cela pada dirinya.”


Bahkan, Rasulullah saw. menjadikan sifat malu sebagai bagian dari cabang iman. Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Iman memiliki 70 atau 60 cabang. Paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Dan sifat malu adalah cabang dari keimanan.” (HR. Muslim dalam Kitab Iman, hadits nomor 51)


Karena itu, sifat malu tidak akan mendatangkan kemudharatan. Sifat ini membawa kebaikan bagi pemiliknya. “Al-hayaa-u laa ya’tii illa bi khairin, sifat malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan,” begitu kata Rasulullah saw. (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5652)


Dengan kata lain, seseorang yang kehilangan sifat malunya yang tersisa dalam dirinya hanyalah keburukan. Buruk dalam ucapan, buruk dalam perangai. Tidak bisa kita bayangkan jika dari mulut seorang muslimah meluncur kata-kata kotor lagi kasar. Bertingkah dengan penampilan seronok dan bermuka tebal. Tentu bagi dia surga jauh. Kata Nabi, “Malu adalah bagian dari iman, dan keimanan itu berada di surga. Ucapan jorok berasal dari akhlak yang buruk dan akhlak yang buruk tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi dalam Ktab Birr wash Shilah, hadits nomor 1932)


Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk menghiasi diri dengan sifat malu. Dari mana sebenarnya energi sifat malu bisa kita miliki? Sumber sifat malu adalah dari pengetahuan kita tentang keagungan Allah. Sifat malu akan muncul dalam diri kita jika kita menghayati betul bahwa Allah itu Maha Mengetahui, Allah itu Maha Melihat. Tidak ada yang bisa kita sembunyikan dari Penglihatan Allah. Segala lintasan pikiran, niat yang terbersit dalam hati kita, semua diketahui oleh Allah swt.


Jadi, sumber sifat malu adalah muraqabatullah. Sifat itu hadir setika kita merasa di bawah pantauan Allah swt. Dengan kata lain, ketika kita dalam kondisi ihsan, sifat malu ada dalam diri kita. Apa itu ihsan? “Engkau menyembah Allah seakan melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu,” begitu jawaban Rasulullah saw. atas pertanyaan Jibril tentang ihsan.


Itulah sifat malu yang sesungguhnya. Sebagaimana yang sampai kepada kita melalui Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Malulah kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.” Kami berkata, “Ya Rasulullah, alhamdulillah, kami sesungguhnya malu.” Beliau berkata, “Bukan itu yang aku maksud. Tetapi malu kepada Allah dengan malu yang sesungguhnya; yaitu menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, menjaga perut dari apa yang dikehendakinya. Ingatlah kematian dan ujian, dan barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan alam akhirat, maka ia akan tinggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang melakukan hal itu, maka ia memiliki sifat malu yang sesungguhnya kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shifatul Qiyamah, hadits nomor 2382)


Ingat! Malu. Bukan pemalu. Pemalu (khajal) adalah penyakit jiwa dan lemah kepribadian akibat rasa malu yang berlebihan. Sebab, sifat malu tidaklah menghalangi seorang muslimah untuk tampil menyuarakan kebenaran. Sifat malu juga tidak menghambat seorang muslimah untuk belajar dan mencari ilmu.


Contohlah Ummu Sulaim Al-Anshariyah.


Dari Zainab binti Abi Salamah, dari Ummu Salamah Ummu Mukminin berkata, “Suatu ketika Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, menemui Rasulullah saw. seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran. Apakah seorang wanita harus mandi bila bermimpi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, bila ia melihat air (keluar dari kemaluannya karena mimpi).’” (HR. Bukhari dalam Kitab Ghusl, hadits nomor 273)


Saat ini banyak muslimah yang salah menempatkan rasa malu. Apalagi situasi pergaulan pria-wanita saat ini begitu ikhtilath (campur baur). Ketika ada lelaki yang menyentuh atau mengulurkan tangan mengajak salaman, seorang muslimah dengan ringan menyambutnya. Ketika kita tanya, mereka menjawab, “Saya malu menolaknya.” Bagaimana jika cara bersalamannya dengan bentuk cipika-cipiki (cium pipi kanan cium pipi kiri)? “Ya abis gimana lagi. Ntar dibilang gak gaul. Kan tengsin (malu)!”


Bahkan ketika dilecehkan oleh tangan-tangan jahil di kendaraan umum, tidak sedikit muslimah yang diam tak bersuara. Ketika kita tanya kenapa tidak berteriak atau menghardik lelaki jahil itu, jawabnya, sekali lagi, saya malu.
Jelas itu penempatan rasa malu yang salah.


Tapi, anehnya tidak sedikit muslimah yang lupa akan rasa malu saat mengenakan rok mini. Betul kepala ditutupi oleh jilbab kecil, tapi busana ketat yang diapai menonjolkan lekak-lekut tubuh. Betul mereka berpakaian, tapi hakikatnya telanjang. Jika dulu underwear adalah busana sangat pribadi, kini menjadi bagian gaya yang setiap orang bisa lihat tanpa rona merah di pipi.


Begitulah jika urat malu sudah hilang. “Idza lam tastahyii fashna’ maa syi’ta, bila kamu tidak malu, lakukanlah apa saja yang kamu inginkan,” begitu kata Rasulullah saw. (HR. Bukhari dalam Kitab Ahaditsul Anbiya, hadits nomor 3225).


Ada tiga pemahaman atas sabda Rasulullah itu.


Pertama, berupa ancaman. “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Fushhdilat: 40).


Kedua, perkataan Nabi itu memberitakan tentang kondisi orang yang tidak punya malu. Mereka bisa melakukan apa saja karena tidak punya standar moral. Tidak punya aturan.


Ketiga, hadits ini berisi perintah Rasulullah saw. kepada kita untuk bersikap wara’. Jadi, kita menangkap makna yang tersirat bahwa Rasulullah berkata, apa kamu tidak malu melakukannya? Kalau malu, menghindarlah!


Wanita yang beriman adalah wanita yang memiliki sifat malu. Sifat malu tampak pada cara dia berbusana. Ia menggunakan busana takwa, yaitu busana yang menutupi auratnya. Para ulama sepakat bahwa aurat seorang wanita di hadapan pria adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan.


Ibnu Katsir berkata, “Pada zaman jahiliyah dahulu, sebagian kaum wanitanya berjalan di tengah kaum lelaki dengan belahan dada tanpa penutup. Dan mungkin saja mereka juga memperlihatkan leher, rambut, dan telinga mereka. Maka Allah memerintahkan wanita muslimah agar menutupi bagian-bagian tersebut.”


Menundukkan pandangan juga bagian dari rasa malu. Sebab, mata memiliki sejuta bahasa. Kerlingan, tatapan sendu, dan isyarat lainnya yang membuat berjuta rasa di dada seorang lelaki. Setiap wanita memiliki pandangan mata yang setajam anak panah dan setiap lelaki paham akan pesan yang dimaksud oleh pandangan itu. Karena itu, Allah swt. memerintahahkan kepada lelaki dan wanita untuk menundukkan sebagaian pandangan mereka.


Memang realitas kekinian tidak bisa kita pungkiri. Kaum wanita saat ini beraktivitas di sektor publik, baik sebagai profesional ataupun aktivis sosial-politik. Ada yang dengan alasan untuk melayani kepentingan sesama wanita yang fitri. Ada juga yang karena keterpaksaan. Tidak sedikit wanita harus bekerja karena ia adalah tulang punggung keluarganya. Sehingga, ikhtilath (bercampur baur dengan lelaki) tidak bisa terhindari.


Ada adab yang harus ditegakkan kala terjadi muqabalah antara pria dan wanita.


Adab-adab itu adalah:


** Ada pembatasan tempat pertemuan


** Menjaga pandangan dengan menundukkan sebagian pandangan


** Tidak berjabat tangan dalam situasi apa pun dengan yang bukan mahromnya


** Hindari berdesak-desakan dan lakukan pembedaan tempat bagi lelaki dan wanita


** Tidak berkhalwat (berduaan dengan lawan jenis)


** Hindari tempat-tempat yang meragukan dan bisa menimbulkan fitnah


** Hindari pertemuan yang lama dan sering, sebab bisa melemahkan sifat malu dan menggoyahkan keteguhan jiwa


** Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan dosa dan keinginan batin untuk melakukan yang haram, ataupun membayangkannya


** Khusus bagi wanita, pakailah pakaian yang yang sesuai syariat, tidak memakai wewangian, batasi diri dalam berbicara dan menatap, serta jaga kewibawaan dan beraktivitas. Perhatikan gaya bicara. Jangan genit..!


Dengan begitu jelaslah bahwa Islam tidak mengekang wanita. Wanita bisa terlibat dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berpolitik, dan berbagai aktivitas lainnya. Islam hanya memberi frame dengan adab dan etika. Sifat malu adalah salah satu frame yang harus dijaga oleh setiap wanita muslimah yang meyakini bahwa Allah swt. melihat setiap polah dan desiran hati yang tersimpan dalam dadanya
Read More - Sifat Malu Kaum Wanita..

ISLAM MENJELASKAN TENTANG HAK-HAK DAN KEMULIAN WANITA MUSLIMAH

Kamis, 20 Oktober 2011


Sesungguhnya Islam menempatkan wanita pada posisi yangg tinggi dan sejajar dengan pria. Namun dalam beberapa hal ada yang harus berbeda karena pada hakikatnya, pria dan wanita adalah makhluk yang berbeda. Kesalahan dalam memahami ajaran yang benar inilah yg menjadikan Islam kerap dituding sebagai agama yang menempatkan wanita sebagai “warga kelas dua.” Benarkah? Simak penjelasannya!


Suatu hal yang tidak kita sangsikan bahwa Islam demikian memuliakan wanita dari semula makhluk yang tiada berharga di hadapan “peradaban manusia” diinjak-injak kehormatan dan harga diri kemudian diangkat oleh Islam ditempatkan pada tempat yang semesti dijaga dihargai dan dimuliakan. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan banyak kebaikan kepada hamba-hambaNya.
Penjelasan ringkas akan hak-hak wanita menurut Islam di bawah ini sedikit akan memberikan gambaran bagaimana Islam menjaga hak-hak kaum wanita sejak mereka dilahirkan ke muka bumi dibesarkan di tengah keluarga sampai dewasa beralih ke perwalian sang suami.


1. Pada Masa Kanak-kanak

Di masa jahiliah tersebar di kalangan bangsa Arab khusus kebiasaan menguburkan anak perempuan hidup-hidup karena keengganan mereka memelihara anak perempuan. Lalu datanglah Islam mengharamkan perbuatan tersebut dan menuntun manusia utk berbuat baik kepada anak perempuan serta menjaga dengan baik. Ganjaran yang besar pun dijanjikan bagi yang mau melaksanakannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran dalam sabdaNya:


مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ  (1
Siapa yg memelihara dua anak perempuan hingga kedua mencapai usia baligh maka orang tersebut akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia seperti dua jari ini.” Beliau menggabungkan jari-jemarinya.


‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkisah: “Datang ke rumahku seorang wanita peminta-minta beserta dua putrinya. Namun aku tidak memiliki apa-apa yang dapat kusedekahkan kepada mereka kecuali hanya sebutir kurma. Wanita tersebut menerima kurma pemberianku lalu dibagi untuk kedua putrinya sementara ia sendiri tidak memakannya. Kemudian wanita itu berdiri dan keluar dari rumahku. tidak berapa lama masuklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kuceritakan hal tersebut kepada beliau. Usai mendengar penuturanku beliau bersabda:


مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
Siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang/penutup bagi dari api neraka.”


Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam penjelasan atas hadits di atas: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut dengan ujian karena manusia biasa tidak menyukai anak perempuan sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kebiasaan orang2 jahiliah:


وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ ساَءَ مَا يَحْكُمُوْنَ
Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan menjadi merah padamlah wajah dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruk berita yang disampaikan kepadanya. apakah ia akan memelihara dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkan hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah buruk apa yg mereka tetapkan itu.


Hadits-hadits yang telah disebutkan di atas menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada anak perempuan memberikan nafkah kepada mereka dan bersabar memelihara mereka.
Islam mewajibkan kepada seorang ayah untuk menjaga anak perempuan memberi nafkah kepadanya sampai ia menikah dan memberikan kepadanya bagian dari harta warisan.


2. Dalam masalah PERNIKAHAN



Wanita diberi hak untuk menentukan pendamping hidup dan diperkenankan menolak calon suami yang diajukan orang tua atau kerabat bila tidak menyukainya. Beberapa hadits di bawah ini menjadi bukti:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta izinnya.” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah bagaimanakah izin seorang gadis?” “Izin adalah dengan ia diam” jawab Rasulullah.


‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:


يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحِي. قاَلَ: رِضَاهَا صَمْتُهَا
Wahai Rasulullah sesungguh seorang gadis itu malu .” Beliau menjelaskan “Tanda ridhanya gadis itu adl diamnya.”


Khansa` bintu Khidam Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan ayahnya menikahkannya dengan seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia adukan perkaranya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga akhir beliau membatalkan pernikahannya.


Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahihnya: Bab Apabila seseorang menikahkan putri sementara putri tidak suka maka pernikahan itu tertolak.
Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq menceritakan salah seorang putri Ja’far2 merasa khawatir wali akan menikahkan secara paksa. maka ia mengutus orang untuk mengadukan hal tersebut kepada dua syaikh dari kalangan Anshar ‘Abdurrahman dan Majma’ keduanya adalah putra Yazid bin Jariyah. Keduanya berkata “Janganlah kalian khawatir karena ketika Khansa` bintu Khidam dinikahkan ayah dalam keadaan ia tidak suka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak pernikahan tersebut.”


Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:


جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيْهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيْسَتَهُ. قَالَ: فَجَعَلَ اْلأَمْرَ إِلَيْهَا، فَقَالَتْ: قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ لِلآبَاءِ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ
Pernah datang seorang wanita muda menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mengadu ‘Ayahku menikahkanku dengan anak saudaranya untuk menghilangkan kehinaan yang ada padanya dengan pernikahanku tersebut’ ujarnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan keputusan padanya. Si wanita berkata ‘Aku membolehkan ayah untuk melakukannya. Hanya saja aku ingin para wanita tahu bahwa ayah mereka tidak memiliki urusan sedikitpun dalam memutuskan perkara seperti ini’.” “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.”


Islam memberikan hak seperti ini kepada wanita karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan wanita sebagai penenang bagi suami dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah. maka bagaimana akan terwujud makna yang tinggi ini apabila seorang gadis diambil secara paksa sebagai istri sementara ia dalam keadaan tidak suka? Lalu bila demikian keadaan sampai kapan pernikahan itu akan bertahan dengan tenang dan tenteram?


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menyatakan: “Tidak boleh seorang pun menikahkan seorang wanita kecuali terlebih dahulu meminta izin sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila si wanita tidak suka maka ia tidak boleh dipaksa untuk menikah. Dikecualikan dalam hal ini bila si wanita masih kecil karena boleh bagi ayah menikahkan gadis kecil tanpa meminta izinnya. Adapun wanita yang telah berstatus janda dan sudah baligh maka tdk boleh menikahkan tanpa izin sama saja baik yang menikahkan itu ayah atau yang lainnya. Demikian menurut kesepakatan kaum muslimin.”


Ibnu Taimiyyah rahimahullahu melanjutkan: “Ulama berbeda pendapat tentang izin gadis yang akan dinikahkan apakah izin itu wajib hukum atau mustahab . Yang benar dalam hal ini adalah izin tersebut wajib. Dan wajib bagi wali si wanita untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam memilih lelaki yang akan ia nikahkan dengsn si wanita dan hendak si wali melihat apakah calon suami si wanita tersebut sekufu atau tidak. Karena pernikahan itu untuk kemaslahatan si wanita bukan untuk kemaslahatan pribadi si wali.”

Islam menetapkan kepada seorang lelaki yang ingin menikahi seorang wanita agar memberikan mahar pernikahan kepada si wanita. Dan mahar itu nanti adalah hak si wanita tidak boleh diambil sedikitpun kecuali dengan keridhaannya.


وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
Berikanlah mahar kepada para wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian dengan senang hati sebagian dari mahar tersebut maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya.”


Al-Imam Al-Qurthubi Subhanahu wa Ta’ala berkata: “Ayat ini menunjukkan wajib pemberian mahar kepada wanita yang dinikahi. Ulama menyepakati hal ini tanpa ada perbedaan pendapat kecuali riwayat sebagian ahlul ilmi dari penduduk Irak yang menyatakan bila seorang tuan menikahkan budak laki-laki dengan budak wanita maka tidak wajib ada mahar. Namun pendapat ini tidak dianggap. ”


3. Sebagai Seorang Ibu


Islam memuliakan wanita semasa kecil ketika remaja dan saat ia menjadi seorang ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tua ayah dan ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala titahkan hal ini dalam TanzilNya setelah mewajibkan ibadah hanya kepadaNya:


وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا
Tuhanmu telah menetapkan agar janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepadaNya dan hendaklah kalian berbuat baik terhadap kedua orangtua. Apabila salah seorang dari kedua atau kedua-duanya menginjak usia lanjut dalam pemeliharaanmu maka janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan membentak keduanya namun ucapkanlah kepada kedua perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang ucapkanlah doa “Wahai Tuhanku kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka telah memelihara dan mendidikku sewaktu kecil.”


Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:


وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا
Dan Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibu telah mengandung dengan susah payah dan melahirkan dengan susah payah pula. Mengandung sampai menyapih adalah tigapuluh bulan


Ketika shahabat yg mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:


أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ..
Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa setelah itu?”  ‘Abdullah lagi bertanya lagi. Kata beliau “Kemudian birrul walidain .”


Kata Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu -seorang shahabat Rasul yang sangat berbakti kepada ibundanya- “Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:


يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ
Wahai Rasulullah siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab “Ibumu.” “Kemudian siapa?” orang  itu bertanya lagi. “Ibumu” jawab beliau. Kembali orang itu bertanya “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian siapa?” orang itu bertanya lagi. “Kemudian ayahmu” jawab Rasulullah.


Hadits di atas menunjukkan pada kita bahwa hak ibu lebih tinggi daripada hak ayah dalam menerima perbuatan baik dari anaknya. Hal itu disebabkan seorang ibulah yang merasakan kepayahan mengandung melahirkan dan menyusui. Ibulah yang bersendiri merasakan dan menanggung ketiga perkara tersebut kemudian nanti dalam hal mendidik baru seorang ayah ikut andil di dalamnya. Demikian dinyatakan Ibnu Baththal rahimahullahu sebagaimana dinukil oleh Al-Hafidz rahimahullahu.


Islam mengharamkan seorang anak berbuat durhaka kepada ibu sebagaimana ditegaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:


إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ..
Sesungguh Allah mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada para ibu


Al-Hafizh rahimahullahu menerangkan “Dikhususkan penyebutan para ibu dalam hadits ini karena perbuatan durhaka kepada mereka lebih cepat terjadi daripada perbuatan durhaka kepada ayah disebabkan kelemahan mereka sebagai wanita. Dan juga untuk memberikan peringatan bahwa berbuat baik kepada seorang ibu dengan memberikan kelembutan kasih sayang dan semisal lebih didahulukan daripada kepada ayah.”
Bahkan seorang ibu yang masih musyrik ataupun kafir tetap diwajibkan seorang anak berbuat baik kepadanya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anha. Ia berkisah: “Ibuku yang masih musyrik datang mengunjungiku bertepatan saat terjalin perjanjian antara Quraisy dgn Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ibuku datang berkunjung dan memintaku untuk berbuat baik kepadanya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya?” Beliau menjawab “Ya sambunglah hubungan dengan ibumu.”


4. Sebagai Seorang Istri



Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan seorang suami agar bergaul dgn istri dengan cara yang baik.


وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yg baik.”


Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata “Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu sepantasnya seorang suami mempergauli istrinya dengan cara yang ma’ruf menemani dan menyertai dengan baik, menahan gangguan terhadapnya, mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya. Termasuk dalam hal ini pemberian nafkah pakaian dan semisalnya.
Dan tentu pemenuhan berbeda-beda sesuai dgn perbedaan keadaan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para suami:


لاَ تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللهِ
Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.”


‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu datang mengadu “Wahai Rasulullah para istri berbuat durhaka kepada suami-suami mereka.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan untuk memukul istri bila berbuat durhaka. Selang beberapa waktu datanglah para wanita dalam jumlah yang banyak menemui istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan perbuatan suami mereka. Mendengar pengaduan tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
Mereka itu bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.”


Beliau juga pernah bersabda:


أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlak di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.”


Banyak hak yang diberikan Islam kepada istri seperti suami dituntut untuk bergaul dengan baik terhadap istri ia berhak memperoleh nafkah pengajaran penjagaan dan perlindungan yang ini semua tidak didapatkan oleh para istri di luar agama Islam.
Bila sudah demikian penjagaan Islam terhadap hak wanita dan pemuliaan Islam terhadap kaum wanita; lalu apa lagi yang ingin diteriakkan oleh kalangan feminis dan yang berjuang untuk persamaan gender yang katanya memperjuangkan hak wanita padahal sebenarnya ingin mencampakkan wanita kembali ke lembah kehinaan terpuruk dan terinjak-injak..
Wallahu a'lam bishowab..


Keterangan Hadits:
1) Maknanya:
جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ


2) Kemungkinan terbesar Ja’far yang dimaksud adalah Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu kata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah..
Read More - ISLAM MENJELASKAN TENTANG HAK-HAK DAN KEMULIAN WANITA MUSLIMAH

Nasehat Untuk Para Isteri / Calon Isteri


Pernikahan atau Perkawinan
akan membuka tabir rahasia bahwa suami yang menikahimu..
Tidaklah semulia Nabi Muhammad,
Tidaklah setaqwa Nabi Ibrahim,
Tidak jua setabah Nabi Isa atau Nabi Ayub,
Atau pun segagah Nabi Musa,
Apalagi setampan Nabi Yusuf..
Suamimu hanyalah lelaki akhir zaman,
Yang punya cita-cita membangun keturunan yang soleh dan solehah...


Pernikahan atau Perkawinan,
Mengajar kita kewajiban bersama,
Jika suami menjadi pelindung, kamu adalah penghuninya,
Bila Suami adalah nahkoda kapal, kamu lah navigatornya
Jika Suami bagaikan anak yang nakal, kamulah penuntun kenakalannya,
Saat Suami menjadi Raja, kamu lah yg menikmati anggur singgasananya,
Saat Suami menjadi racun, kamulah penawar obatnya,
Bila Suami melakukan kesalahan, sabarlah memperingatkannya


Pernikahan atau Perkawinan,
Mengajarkan kita perlunya iman dan taqwa,
Untuk belajar meniti sabar dan ridha,
Karena memiliki suami yang tak sempurna,
Justru akan membuatmu tersadar dari alpa,
karena...
Kamu bukanlah Siti Khadijah, yang begitu sempurna di dalam menjaga
bukan juga Siti Hajar ataupun Siti Mariam, yang begitu setia dalam sengsara
kau hanyalah wanita akhir zaman, yang berusaha menjadi solehah ...
Read More - Nasehat Untuk Para Isteri / Calon Isteri

Hak Isteri dalam Islam..


Banyak fakta tak terbantahkan bahwa hak-hak istri sering kali diabaikan oleh para suami. Padahal jika kita runut, percikan konflik dalam rumah tangga berakar dari diabaikannya hak-hak istri/suami oleh pasangan mereka. Lalu apa saja hak-hak istri yang mesti ditunaikan suami?

Dalam kitab mulia yang tidak dapat disusupi kebatilan sedikit pun, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya)
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi rahimahullahu menyatakan dalam tafsir ayat di atas bahwa para istri memiliki hak terhadap suaminya sebagaimana suami memiliki hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/Tafsir Al-Qurthubi, 3/82)

Karena itulah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, “Aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku senang bila ia berdandan untukku, karena Allah yang Maha Tinggi sebutan-Nya berfirman (yang artinya)
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah:228)

Adh-Dhahhak rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas, “Apabila para istri menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 2/466)

Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, “Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami-suami mereka seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab. Dan masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang ma’ruf (yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 102)

Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya (mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk), dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)

Ketika haji Wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di hadapan manusia. Di antara isi khutbah beliau adalah:
“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Dari ayat di atas berikut beberapa penafsirannya serta dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, kita memahami bahwa dalam Islam, kedudukan seorang istri dimuliakan dan diberi hak-hak yang harus dipenuhi oleh pasangan hidupnya. Hal ini termasuk kebaikan agama ini yang memang datang dengan keadilan, di mana wanita tidak hanya dituntut untuk memenuhi kewajibannya namun juga diberikan hak-hak yang seimbang.

Kami sengaja mengangkat pembahasan tentang hak istri sebagai pengajaran kepada mereka yang belum tahu dan sebagai penyegaran ilmu kepada mereka yang sudah tahu. Setelah selesai membahas hak istri, kami akan lanjutkan pembahasan tentang hak suami dalam edisi mendatang, Insya Allah. Mungkin terlontar tanya, kenapa hak istri lebih dahulu dibahas daripada hak suami? Kami jawab, memang semestinya hak suami lebih dahulu dibicarakan daripada hak istri bahkan hak suami harus dikedepankan. Namun karena tujuan kami adalah ingin menunjukkan pemuliaan Islam kepada kaum wanita dan bagaimana Islam memerhatikan hak-hak wanita, maka kami pun mendahulukan pembicaraan tentang hak istri, tanpa mengurangi penyunjungan kami terhadap hak suami. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ada beberapa hak yang dimiliki seorang istri terhadap suaminya, di antaranya:

1. Mendapat mahar.

Dalam pernikahan seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita yang dinikahinya. Mahar ini hukumnya wajib dengan dalil ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya)
“…berikanlah kepada mereka (istri-istri kalian) maharnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban.” (An-Nisa`: 24)

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin (ulamanya) telah sepakat tentang disyariatkannya mahar dalam pernikahan.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shadaq)

Mahar merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan memanfaatkannya sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat. Adapun orang lain, baik ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau selain mereka, tidak boleh menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan (yang artinya),
“Dan jika kalian ingin mengganti salah seorang istri dengan istri yang lain, sedangkan kalian telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka (istri tersebut) harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali dari harta tersebut walaupun sedikit. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?” (An-Nisa`: 20)

2. Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (ma’ruf) dan dengan akhlak mulia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya)
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah An-Nisa` di atas, menyatakan: “Yakni perindahlah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini (yang artinya)
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku.”

Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat baik pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha berlomba (lari), dalam rangka menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

3. Mendapat nafkah dan pakaian.

Hak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur`anul Karim dari firman-Nya (yang artinya)
“…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian bersabda:

“Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri) karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya itu, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Dalam Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini selain ditunjukkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dengan ijma’ (kesepakatan ulama).

Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat (yang artinya)
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)

4. Diberi tempat untuk bernaung/tempat tinggal.

Termasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat (yang artinya)
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut.” (An-Nisa`: 19)

Adalah seorang suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat tinggal. Juga agar ia dapat bebas bergerak serta memungkinkan baginya dan bagi suaminya untuk bergaul sebagaimana layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan sesuai kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah.



5. Dibantu untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, menjaganya dari api neraka dan memberikan pengajaran agama

Seorang suami harus mengajarkan perkara agama kepada istrinya, terlebih lagi bila istrinya belum mendapatkan pengajaran agama yang mencukupi, dimulai dari meluruskan tauhidnya dan mengajarkan amalan-amalan ibadah yang lainnya. Sama saja baik si suami mengajarinya sendiri atau membawanya ke majelis ilmu, atau dengan cara yang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya)
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….” (At-Tahrim: 6)

Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat, segera dinasihati dan diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 12/156, 157 dan Ruhul Ma’ani, 138/780,781)

Hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu juga menjadi dalil pengajaran terhadap istri. Malik berkata, “Kami mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau bersabda:
“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 630 dan Muslim no. 1533)

Seorang suami harus menegakkan peraturan kepada istrinya agar si istri berpegang dengan adab-adab yang diajarkan dalam Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wangi surga, padahal wangi surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)

7. Menaruh rasa cemburu kepadanya.

Seorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya yang dengan perasaan ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak membiarkan istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan sembarang laki-laki (yang bukan mahramnya). Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari kemuliaan.

Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya:
“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya (bukan pada sisi yang tumpul).”
Mendengar ucapan Sa’d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelanya. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)

Islam telah memberikan aturan yang lurus berkenaan dengan penjagaan terhadap rasa cemburu ini dengan:

1. Memerintahkan kepada wanita untuk berhijab
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya (yang artinya)
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)

2. Memerintahkan wanita untuk menundukkan pandangan matanya dari memandang laki-laki yang bukan mahramnya.
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: ‘Hendaklah mereka menundukkan sebagian pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka…’.” (QS. An-Nur: 31)

3. Tidak membolehkan wanita menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami dan laki-laki dari kalangan mahramnya.
“… janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (QS. An-Nur: 31)

4. Tidak membiarkannya bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahram.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hati-hati kalian dari masuk ke tempat para wanita.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar?” Beliau menjawab, “Ipar itu maut.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 5638)

Ipar dikatakan maut, maknanya kekhawatiran terhadapnya lebih besar daripada kekhawatiran dari orang lain yang bukan kerabat. Kejelekan dan fitnah lebih mungkin terjadi dalam hubungan dengan ipar, karena ipar biasanya bebas keluar masuk menemui si wanita dan berduaan dengannya tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri/saudara. Beda halnya dengan ajnabi (lak-laki yang bukan kerabat).
Adapun yang disifati dengan maut adalah saudara laki-laki suami, keponakan laki-laki suami, paman suami, dan anak paman suami serta selain mereka yang bukan mahram si wanita (dari kalangan kerabat suami). Kebiasaan yang ada di kalangan orang-orang, mereka bermudah-mudahan dalam hal ini sehingga ipar dianggap biasa bila berduaan dengan istri saudaranya. Inilah maut, dan yang seperti ini lebih utama untuk disebutkan pelarangannya daripada pelarangan dengan ajnabi. (Al-Minhaj, 14/378)

5. Tidak memperhadapkannya kepada fitnah, seperti bepergian meninggalkannya dalam waktu yang lama atau menempatkannya di lingkungan yang rusak.

Seorang suami hendaklah memerhatikan perkara-perkara di atas agar ia dapat menjaga kehormatan istrinya sebagai bentuk kecemburuannya kepada si istri.

Wallahu a’lam bish-shawaab
Read More - Hak Isteri dalam Islam..

Islamic Clock

Demi waktu

My music

SCM Music Player - seamless music for your Website, Wordpress, Tumblr, Blogger.